Aku mengaduk es teh maniusku dengan lembut. Sesekali menoleh ke arah kanan mencari dia yang biasanya sering mampir ke sini setiap jam istirahat. Namanya Veno dan dia di kelas D. Wajahnya tidak terlalu tampan, ya, tidak terlalu, tapi cukup lumayan dibandingkan Stro yang selalu sok kegantengan. Ia tinggi, sekitar 170 cm. Ia suka basket, tapi dia bukan pemain basket. Dia belajar olahraga setiap hari Rabu jam pelajaran pertama, jadi sebisa mungkin aku selalu keluar pas dia lagi belajar olahraga, terserah deh guru mikir aku ngapain di toilet.
Peristiwa kenapa aku bisa naksir Veno sih sebenarnya simple saja. Kami satu ruang saat MOS. Saat itu kami sedang 'dilatih' ( aku ga yakin, itu dilatih atau dikerjain ) untuk hormat kepada senior dengan cara berlutut dihadapan mereka. sendiri-sendiri. Mau tak mau karena takut dan segan, semua menuruti perkataan senior itu, tapi saat tiba giliran Veno dengan tegas dia menolak untuk berlutut dan dengan sopannya dia menyuruh senior itu untuk mempraktekkannya didepan Veno. Jelas senior itu marah dan menyuruh Veno untuk lari keliling sekolah 5 kali dan sekali lagi Veno dengan santainya melanggar perintah senior itu, dia hanya berlari 3 keliling lalu kabur ke kantin buat jajan. Jelas senior marah habis-habisan dan mengadukannya ke guru. Kalimat pertama yang terlintas dipikiranku adalah " Hebat, harga dirinya tinggi " sejak itu aku mulai tertarik dengannya.
Kembali ke dunia nyata, di depanku dan serong kiriku duduk Shavel dan Veyya. Veyya duduk menghadap ke arah tempat yang biasanya Veno duduki sedangkan Shavel asyik curhat tentang Azka, anak kelas A yang lagi ditaksirnya, dengan sepenuh hati. Tiba-tiba, Veyya memukul tanganku dengan semangat. Aku langsung meringis, bukannya minta maaf dia malah menatap ke depan dengan tatapan ini-nih-yang-ditunggu. Dengan penasaran, aku dan Shavel mengikuti arah tatapannya. Di depan sana, tak jauh dari tempatku duduk, berdiri Veno dengan senyum yang merekah. Mau tak mau aku ikut tersenyum, aku suka karakternya yang selalu ceria dan easy-going. Tiba-tiba ia menoleh kearahku dengan senyumnya yang menyilaukan dan tangan yang melambai ke arah kami. Veyya dan Shavel sudah heboh duluan sedangkan aku berusaha mengingatkan diri supaya tidak kegeeran. Siapa tau dibelakangku ada temannya lagi berdiri. Tapi akhirnya aku hanya bisa tersenyum dengan wajah memerah setelah melihatnya berbicara tanpa suara ke aku. Suatu keajaiban, rasanya aku tidak percaya. Ini mimpi ya?
" Pagi Reysha! "