Sabtu, 11 Juli 2015

One Year

Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Chronicles of Audy: 4/4’


 


            “Udah hidup belum Skype-nya?” tanyaku tak sabar sambil menepuk-nepuk bahu Romeo.
           Romeo menggerutu sambil memencet-mencet keyboard laptop, “Harusnya sudah.” katanya lalu menggaruk rambutnya, membuat ‘serbuk-serbuk’ putih berjatuhan. Aku mengerang jijik lalu meneliti tanganku, kali saja ada ketombe yang menempel.
          “Katanya Mas hacker, masa hidupin Skype saja ga bisa.” komentar Rafael dengan dahi mengerut, membuat Romeo langsung memitingnya. Regan dan Mbak Maura hanya bisa tertawa sambil duduk berangkulan di sofa, membuatku iri setengah mati. Coba saja Rex ada di sini, bisa jadi sekarang aku dan dia yang duduk berangkulan. Oh Audy, cukup dengan segala delusimu, kalaupun dia ada di sini belum tentu juga dia mau.
           “Sudah, nih.” berita Romeo puas sambil memajukan laptop ke tengah meja. Kami langsung memasang senyum lebar sembari menanti orang di sana menerima panggilan. Tak berapa lama, muncul wajah kecut seseorang.
            “Halo, Rex!!” Sapa kami heboh, membuat wajah Rex semakin kecut.
           “Ada urusan apa nelfon malam-malam begini?” tanya Rex tanpa basa-basi dengan suara a la robotnya. Ah, sangat Rex sekali. “Aku mau belajar.” lanjutnya. Aku memerhatikan kamar Rex. Ada beberapa lembar kertas tercecer di meja sebelahnya dan buku-buku tebal. Kalau diperhatikan baik-baik, wajah Rex kelihatan makin pucat. Mungkin dia kecapekan karena sibuk dengan kuliahnya. Aku jadi teringat, kadang aku suka membuat cokelat panas untuknya saat dia sedang belajar. Rasanya aku jadi ingin membuatkannya cokelat panas lagi.
Aku langsung membuang jauh-jauh anganku ketika teringat komentar “KEMANISAN”-nya waktu itu. Yang ada nanti aku malah merusak semuanya seperti biasa. Berhubung aku masih terkena Kutukan Nenek Sihir.
“Hari ini kita mau ngerayain satu tahunan Audy datang ke rumah kita. Kamu tidak lupa kan, Rex?” tanya Regan dengan senyum manisnya. Aku langsung memasang wajah penuh harap. Mungkin saja Rex ingat. Mungkin saja sebenarnya Rex sudah membuat kejutan dengan menyiapkan kue selamatan-atau-apa. Mungkin saja kali ini Rex bisa romantis. Mungkin saja-
“Ah.” katanya, nampak benar-benar baru ingat, membuatku langsung menghembuskan napas berat. Yaah, apa sih yang bisa aku harapkan dari Rex?
“Kita langsung mulai saja acaranya, ya!” kata Romeo penuh semangat. Dia bersenandung kecil sambil mendorong laptopnya ke ujung meja agar kue yang kubuat (oke, sebagian besar proses pembuatannya memang dibantu Mbak Maura, tapi paling tidak kan ada campur tanganku) muat. Setelah memastikan Rex masih bisa melihat semua proses acara dari Amerika, Romeo dan Rafael meraih tabung di sebelah mereka lalu memutar bagian bawahnya. Seketika itu juga kertas warna-warni bertebaran di atasku.
“SELAMAT SATU TAHUNAN, AUDY!!” teriak mereka penuh semangat, membuatku nyaris menangis terharu. Rafael sibuk meniup terompet yang datang entah darimana, sementara Mbak Maura memelukku erat.
“Mbak senang kamu datang ke rumah ini. Mbak ga bisa bayangin gimana keadaan rumah ini sekarang tanpa kamu.” kata Mbak Maura dengan suaranya yang lembut. Aku balas memeluk Mbak Maura, namun tetap berhati-hati mengingat Mbak Maura sedang hamil.
Setelahnya Regan memelukku, “Apa yang mau aku bilang hampir sama kayak Maura. Aku senang kamu ada di sini. Membantu kami dalam segala masalah kami walaupun akhirnya kamu yang terkena masalah. Terima kasih juga karena kamu sudah membawa Rafael ke jalan yang benar.” kata Regan sambil mengerling Rafael. Yang diomongin hanya mengerucutkan bibir sambil memainkan terompet di tangannya. “Kalau kamu ga ada di sini mungkin saja Rafael masih membaca majalah dewasanya Romeo. Jangan kira Mas ga tahu lho, Ro.”
Romeo hanya nyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya, “Tenang saja, Mas. Aku sudah ga langganan lagi, kok.” katanya, yang kubalas dengan tatapan tak percaya.
Regan tertawa kecil lalu melepas pelukannya, “Aku senang punya adik sepertimu.”
Aku menoleh ke Rafael lalu memeluknya erat, “Makasih ya kamu sudah ngajarin aku kubik-rubik. Karena kamu IQ-ku sudah meningkat.” Atau tidak. Aku malas memikirkannya, lebih-lebih mengeceknya.
Rafael balas memelukku setelah sok-sok cuek, “Nanti kamu aku ajarin kubik-rubik lima kali lima.” janjinya, yang kubalas dengan tawa kecil, sama sekali tidak berminat. Cukup sudah dengan kubik-rubik tiga kali tiga selama setahun ini.
“Au.” Terdengar suara Romeo dari sebelahku, membuatku membalikkan badan ke Romeo. “Kamu masih main The Sims?” tanya Romeo dengan wajah ceria menahunnya.
“Dari semua hal yang bisa diomongin, kamu malah nanya itu?” tanyaku dengan nada sarkastik, namun akhirnya aku balas dengan anggukan.
“Aku punya Expansion Pack-nya, kalau kamu mau. Lumayan buat nambah seru game-nya.” Kata Romeo. Aku menatapnya penuh minat. “Nanti aku bantu install.” katanya, membuatku cengar-cengir senang.
Tunggu sebentar. Rasa-rasanya ada yang terlupakan di sini. Aku menoleh ke laptop di ujung meja dan mendapati Rex yang sedang mengerutkan dahinya tak senang. Mungkin dia sebal karena kami sudah merenggut waktu belajarnya hanya untuk menonton kami peluk-pelukan.  “Rex, ngomong dong.” terdengar suara lembut Mbak Maura.
Rex mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” Setelah mendapat ekspresi datar dari kami, dia langsung berdeham. “Terima kasih karena sudah memporak-porandakan keluarga Rashad.” Katanya dengan senyum miring, tak bermaksud menyindir.
Setelahnya kami sibuk bernostalgia ke masa-masa saat aku baru datang ke rumah ini, lebih tepatnya mengenang segala kebodohanku.
Aku tersenyum saat melihat Romeo memiting Rafael. Ah, aku senang bisa menjadi bagian dari keluarga ini.
Hello! Welcome to Deyeo'si's Kingdom | Trifena | Thanks