Diikutkan Dalam Lomba Cerpen ‘The Chronicles of Audy: 4/4’

“Udah hidup belum Skype-nya?”
tanyaku tak sabar sambil menepuk-nepuk bahu Romeo.
Romeo menggerutu sambil
memencet-mencet keyboard laptop,
“Harusnya sudah.” katanya lalu menggaruk rambutnya, membuat ‘serbuk-serbuk’
putih berjatuhan. Aku mengerang jijik lalu meneliti tanganku, kali saja ada
ketombe yang menempel.
“Katanya Mas hacker, masa hidupin Skype saja ga bisa.” komentar Rafael dengan
dahi mengerut, membuat Romeo langsung memitingnya. Regan dan Mbak Maura hanya
bisa tertawa sambil duduk berangkulan di sofa, membuatku iri setengah mati.
Coba saja Rex ada di sini, bisa jadi sekarang aku dan dia yang duduk
berangkulan. Oh Audy, cukup dengan segala delusimu, kalaupun dia ada di sini
belum tentu juga dia mau.
“Sudah, nih.” berita Romeo puas
sambil memajukan laptop ke tengah meja. Kami langsung memasang senyum lebar
sembari menanti orang di sana menerima panggilan. Tak berapa lama, muncul wajah
kecut seseorang.
“Halo, Rex!!” Sapa kami heboh,
membuat wajah Rex semakin kecut.
“Ada urusan apa nelfon malam-malam
begini?” tanya Rex tanpa basa-basi dengan suara a la robotnya. Ah, sangat Rex sekali. “Aku mau belajar.” lanjutnya.
Aku memerhatikan kamar Rex. Ada beberapa lembar kertas tercecer di meja
sebelahnya dan buku-buku tebal. Kalau diperhatikan baik-baik, wajah Rex
kelihatan makin pucat. Mungkin dia kecapekan karena sibuk dengan kuliahnya. Aku
jadi teringat, kadang aku suka membuat cokelat panas untuknya saat dia sedang
belajar. Rasanya aku jadi ingin membuatkannya cokelat panas lagi.
Aku
langsung membuang jauh-jauh anganku ketika teringat komentar “KEMANISAN”-nya
waktu itu. Yang ada nanti aku malah merusak semuanya seperti biasa. Berhubung aku
masih terkena Kutukan Nenek Sihir.
“Hari
ini kita mau ngerayain satu tahunan Audy datang ke rumah kita. Kamu tidak lupa
kan, Rex?” tanya Regan dengan senyum manisnya. Aku langsung memasang wajah
penuh harap. Mungkin saja Rex ingat. Mungkin saja sebenarnya Rex sudah membuat
kejutan dengan menyiapkan kue selamatan-atau-apa. Mungkin saja kali ini Rex
bisa romantis. Mungkin saja-
“Ah.”
katanya, nampak benar-benar baru ingat, membuatku langsung menghembuskan napas
berat. Yaah, apa sih yang bisa aku harapkan dari Rex?
“Kita
langsung mulai saja acaranya, ya!” kata Romeo penuh semangat. Dia bersenandung
kecil sambil mendorong laptopnya ke ujung meja agar kue yang kubuat (oke,
sebagian besar proses pembuatannya memang dibantu Mbak Maura, tapi paling tidak
kan ada campur tanganku) muat. Setelah memastikan Rex masih bisa melihat semua
proses acara dari Amerika, Romeo dan Rafael meraih tabung di sebelah mereka
lalu memutar bagian bawahnya. Seketika itu juga kertas warna-warni bertebaran
di atasku.
“SELAMAT
SATU TAHUNAN, AUDY!!” teriak mereka penuh semangat, membuatku nyaris menangis
terharu. Rafael sibuk meniup terompet yang datang entah darimana, sementara
Mbak Maura memelukku erat.
“Mbak
senang kamu datang ke rumah ini. Mbak ga bisa bayangin gimana keadaan rumah ini
sekarang tanpa kamu.” kata Mbak Maura dengan suaranya yang lembut. Aku balas
memeluk Mbak Maura, namun tetap berhati-hati mengingat Mbak Maura sedang hamil.
Setelahnya
Regan memelukku, “Apa yang mau aku bilang hampir sama kayak Maura. Aku senang
kamu ada di sini. Membantu kami dalam segala masalah kami walaupun akhirnya
kamu yang terkena masalah. Terima kasih juga karena kamu sudah membawa Rafael
ke jalan yang benar.” kata Regan sambil mengerling Rafael. Yang diomongin hanya
mengerucutkan bibir sambil memainkan terompet di tangannya. “Kalau kamu ga ada
di sini mungkin saja Rafael masih membaca majalah dewasanya Romeo. Jangan kira
Mas ga tahu lho, Ro.”
Romeo
hanya nyengir lebar sambil menggaruk tengkuknya, “Tenang saja, Mas. Aku sudah
ga langganan lagi, kok.” katanya, yang kubalas dengan tatapan tak percaya.
Regan
tertawa kecil lalu melepas pelukannya, “Aku senang punya adik sepertimu.”
Aku
menoleh ke Rafael lalu memeluknya erat, “Makasih ya kamu sudah ngajarin aku
kubik-rubik. Karena kamu IQ-ku sudah meningkat.” Atau tidak. Aku malas
memikirkannya, lebih-lebih mengeceknya.
Rafael
balas memelukku setelah sok-sok cuek, “Nanti kamu aku ajarin kubik-rubik lima
kali lima.” janjinya, yang kubalas dengan tawa kecil, sama sekali tidak
berminat. Cukup sudah dengan kubik-rubik tiga kali tiga selama setahun ini.
“Au.”
Terdengar suara Romeo dari sebelahku, membuatku membalikkan badan ke Romeo. “Kamu
masih main The Sims?” tanya Romeo dengan wajah ceria menahunnya.
“Dari
semua hal yang bisa diomongin, kamu malah nanya itu?” tanyaku dengan nada
sarkastik, namun akhirnya aku balas dengan anggukan.
“Aku
punya Expansion Pack-nya, kalau kamu mau. Lumayan buat nambah seru game-nya.”
Kata Romeo. Aku menatapnya penuh minat. “Nanti aku bantu install.” katanya,
membuatku cengar-cengir senang.
Tunggu
sebentar. Rasa-rasanya ada yang terlupakan di sini. Aku menoleh ke laptop di
ujung meja dan mendapati Rex yang sedang mengerutkan dahinya tak senang.
Mungkin dia sebal karena kami sudah merenggut waktu belajarnya hanya untuk menonton
kami peluk-pelukan. “Rex, ngomong dong.”
terdengar suara lembut Mbak Maura.
Rex
mengerutkan dahinya, “Untuk apa?” Setelah mendapat ekspresi datar dari kami,
dia langsung berdeham. “Terima kasih karena sudah memporak-porandakan keluarga
Rashad.” Katanya dengan senyum miring, tak bermaksud menyindir.
Setelahnya
kami sibuk bernostalgia ke masa-masa saat aku baru datang ke rumah ini, lebih
tepatnya mengenang segala kebodohanku.
Aku
tersenyum saat melihat Romeo memiting Rafael. Ah, aku senang bisa menjadi
bagian dari keluarga ini.