Sabtu, 08 Juni 2013

Cloud ( 9 )

   Rencanaku gagal total.
   Setidaknya itu yang terjadi. Sekarang aku ditahan Mr. Reo di kelas karena nilai ulangan IPSku yang ancur banget. Kok aku bisa lupa kalau kemarin Mr. Reo bilang kalau bakal ada kelas tambahan untuk yang nilai IPSnya jelek? 
  Reaza duduk disebelahku. Sekedar info, ntah ada angin apa waktu ulangan IPS kemarin Reaza tidur dengan nyenyak tanpa mengisi satu soalpun, alhasil dia juga tertahan di kelas ini bersama 5 murid lain. Dia memasang tampang sebete yang dia bisa. Segala alasan sudah dia katakan ke Mr. Reo, tapi Mr. Reo ga mendengarkan Reaza dengan alasan " Sudahlah Reaza, Mister juga pernah muda jadi tau kalau kamu bohong. Lagipula kan kita di sini untuk belajar, jadi ga ada salahnya kan menggunakan sedikit waktu kamu untuk belajar? "
  " Kenapa sih dari tadi goyang-goyang? Sana ke toilet daripada kamu ngompol disini! " Tiba-tiba Reaza berkomentar sambil menoleh kearahku. Wajahnya tetap memasang ekspresi bete.
  Aku melotot, " Siapa juga yang kebelet, sotoy ih "
  Reaza mengangkat sebelah alis lalu diam dan menatap ke depan, melihat Mr. Reo yang lagi menjelaskan materi IPS yang dari tadi ga ku simak karena kepikiran soal rencanaku yang nyaris sempurna langsung hancur lebur karena IPS. 
  " Bosan ga sih? " Tanya Reaza dengan tatapan yang tetap menatap kedepan.
  Aku menghela nafas, " Ga juga "
  " Malesin ga sih? " Tanyanya lagi.
 " Ga juga " Jawabku singkat ogah-ogahan sambil menopang dagu dengan tanganku. Pikiranku masih menebak-nebak apa yang dialami Anggle sekarang. Mr. Reo yang sedari tadi sudah membuka sesi nulis catatan tak kuperdulikan lagi.
  " Mister-nya ngejelasin apa sih? "
  " Ga juga "
  " Kamu dengerin aku ngomong ga sih?! " Sekarang Reaza mulai emosi. 
  " Ga juga "
  Reaza mendengus bete lalu memutuskan untuk ga ngajak aku ngomong lagi. 
  " Re, gimana sih caranya bebas dari kelas tambahan ini? " Tanyaku saat udah menyerah menebak-nebak. 
  " Pura-pura pingsan " 
  " Haha lucu Re " Jawabku sinis. Ini anak ditanya serius bukan jawab yang bener.
  Dia menguap lalu menoleh, " Aku serius " 
 " Ngomong-ngomong kok kamu bisa tidur pas ulangan? " Tanyaku penasaran. Ga tahan sama aura mencekam di kelas ini membuatku memutuskan untuk bertanya.
  " Ngantuk. Ga tahan liat huruf " 
  " Hah? " Aku melotot ga percaya " Ga tahan liat huruf? Kamu ini hidup di zaman apa sih Re? Bahkan kalo main internetpun kamu pasti liat huruf juga "
  " Ini beda artian Dye. Malam sebelum ulangan aku kebablasan baca cara membuat surat cinta untuk cewek. Aku juga udah coba-coba nulis surat cinta yang paling romantis buat Anggle tapi ga ada yang bagus " Reaza malah curhat.
  " Surat Cinta? Seriusan? Sekarang kan udah ada SMS Re, tinggal bilang ' malam cantik :) ' selesai. Itu aja udah romantis Re " Aku berceramah 
  " Woy, nulis surat cinta itu jauh lebih romantis dibanding cuma SMS. Rasanya kita menuliskan isi hati kita dengan tangan, dengan perjuangan " Reaza tersenyum bangga dengan wajah memerah. Aku cuma bisa melongo lalu kembali memasang ekspresi cool.
  " Aku ga pernah ngerti jalan pikiranmu Re. Kayaknya romantis dalam kamusmu sama romantis dalam kamus Anggle itu beda jauh banget ya " Kataku dengan tatapan prihatin.
  " Emangnya ro..... " Reaza langsung pura-pura memperhatikan penjelasan Mr. Reo saat Mister memelototi dia karena kepergok ngobrol.
  Aku menahan tawa. Untung saja ada Reaza, jadi ada teman ngobrol di kelas ini. Kemarin sore Reaza dipulangkan kembali oleh tantenya karena Reaza selalu mengeluh dalam perjalanan, kemanapun tantenya pergi pasti Reaza mengeluh. Aku yakin pasti itu salah satu taktiknya Reaza biar bisa kabur dari tantenya.
  Aku keingat lagi soal Anggle. Kayaknya aku emang ga diizinkan buat menjalani rencana mendadak ini. Tiba-tiba aku melihat Anggle melewati kelas. Aku melihat jam, baru 20 menit dari jam pulang sekolah. Mungkin ini waktu yang ditentukan, ga mungkin bisa secepat ini dalam acara nembak cewek. Lagian anak kelas 9 juga ga ada kelas tambahan hari ini. Dari belakang Anggle mengekor abang yang kucurigai itu. 
  " TEBAKANKU BENER KAN!!! " Tanpa sadar aku berteriak sambil berdiri dengan kasar. Tangan dan lututku kebentok meja dengan suksesnya, semua matapun tertuju padaku. Aku meringis kesakitan dengan gaya berlebihan padahal tangan dan lututku hanya merah aja. 
 Reaza yang amat sangat pandai membaca suasana langsung berkomentar, " Mister, kayaknya Dyera kesakitan banget tuh mister. Apa tidak sebaiknya dia dibawa ke UKS? "
  Mr. Reo melongo, " Kamu berlebihan Reaza. Dia hanya terbentur sedikit, pasti tidak sakit sama sekali. "
  " Pasti sakit mister " Reaza memaksa.
  " Tidak, lihat dia baik-baik saja. Bahkan dia tidak menangis "
  " Pasti sakit mister. Saya yang paling mengerti Dyera. Sakit kan Dye? " Tanya Reaza sok perhatian.
  Aku bengong, kenapa kisahnya jadi kayak gini? Aku melirik ke Reaza yang langsung memberikan kode-kode. Aku langsung akting meringis kesakitan dengan gaya lebay lagi, " Aduh mister, sakit banget nih. Kayaknya ben... luka deh. Iya, luka. Aduh mister sakit nih "
  Mr. Reo menjadi panik. Rasanya dosa membohongi mister yang buta soal kedokteran dan kesehatan ini, tapi mau gimana lagi? Ini satu-satunya cara buat keluar kelas dan ngekorin Anggle. " Ya sudah, kamu ke UKS saja Dye "
  Aku mengangguk lemah, masih akting meringis. " Mr. Reo ini polos banget sih " Gumamku
  " Lho, Reaza! Kamu mau kemana? " 
  Hah? Reaza?
  Aku menoleh kebelakang dan melihat Reaza yang lagi mengekor dibelakangku. " Saya mau nemenin Dyera mister. Nanti kalo ternyata ibu UKS-nya ga ada kan repot "
  " Kan dia bisa plesterin tangannya sendiri " Mr. Reo memberi penjelasan. Reaza langsung melihat keatas, mungkin berpikir alasan apa yang harus dia gunakan.
  " Ah, kalo nanti di UKS ga ada hansaplast kan kasihan Dyera, mister. Dia harus jalan ke kantin dengan kaki kesakitan gitu. Aduh, ga deh mister, saya sebagai teman merasa ga tega mister. Gini-gini kan rasa persaudaraan saya amat sangat tinggi "
  Hah? Rasa persaudaraan? Rasa pengen kabur dari kelas tambahan sih iya emang amat sangat tinggi.
  Mr. Reo nampak terpana dengan kata-kata Reaza, " Baiklah, kamu temani Dyera sana. Tapi ingat jangan kabur ya "
  " Baik mister "
***
 " Kamu mau kemana sih Dye? " Tanya Reaza kepo. Sedari tadi dia mengekori aku yang sedang sibuk mencari Anggle. Aku berdecak kesal dan malas menjawab pertanyaannya. " Dye, jawab dong. Aku capek nih ngekorin kamu terus "
 " Apa sih Re. Aku ga ada minta ditemenin kok. Udah sana-sana! Ini urusan cewek " Usirku sambil mengibaskan tangan kearahnya. Reaza merengut.
  " Urusan cewek? " Tanyanya curiga.
  " Iya! " Jawabku judes. Aduh, kalo ada Reaza rencana bisa berantakan nih. Ini aja udah pake Plan B.
  " Kalo gitu aku ikut ya " Mendadak wajah Reaza berseri-seri. Aku menoleh dengan tatapan campur aduk.
  " Kamu cewek? " 
  " Ga. Aku hanya pengen tau urusan cewek itu apa " 
  " Dasar kepo! "
  " Dari pada di...... "
  Sayup-sayup terdengar suara seseorang di dekat UKS. Aku langsung memberi kode-kode supaya Reaza diam. Reaza langsung diam dan menatapku bingung. Aku langsung sembunyi lalu mengintip dari balik pohon. Oke, ini emang agak aneh banget, tapi ga ada tempat sembunyi yang lain. Reaza ikut-ikutan ngintip dibelakangku dan langsung melotot.
  " Dye! Dye! Itu kan... "
  " Ssshhhh!!! Ntar mereka tau kalau kita ngintipin mereka "
  " Cowok itu siapa Dye? " Tanya Reaza merasa menemukan pesaing cinta yang baru. 
  " Abang kelas "
  Reaza diam, akupun diam. Kami sama-sama diam sambil memperhatikan Anggle dan abang kelas itu. 
  " Jadi ga bisa? " Tanya abang itu dengan suara berat.
  " Iya " Jawab Anggle singkat.
  Kemudian hening.
  " Tapi aku senang mendengar pernyataan abang. Makasih ya " Kata Anggle sopan dengan senyum manis. Abang itu mengangguk dengan berat hati. " Kalau begitu aku permisi "
  Anggle berjalan melewati abang itu dan berjalan ke arah gerbang sekolah. Kami tak bereaksi, tak berminat menyusul Anggle. Aku masih ingin melihat abang itu. Untuk memastikan sekali lagi kalau mataku ga salah liat orang. 
  Abang kelas itu berbalik badan mengarah ke kami. Matanya yang biasa menyorot tajam nampak sayu, senyumnya yang biasa selalu tampak sekarang tak tergambar di wajahnya yang cakep. Dia orang yang selama ini selalu dipuja-puja Kesya. Dia si Kazama-kun versi manusia, Bang Geza.

Cloud (8) : http://fenadye.blogspot.com/2012/10/cloud-8.html

Selasa, 04 Juni 2013

Gedung Pertunjukan Tua

  Suara denting piano memecah keheningan gedung pertunjukan ini. Seorang remaja duduk tegap dengan tangan yang seakan menari diatas tuts piano. Senyum tersungging di wajahnya yang manis. Ratusan pasang mata menatapnya takjub, beberapa orang memejamkan mata dan menikmati nada-nada indah dengan pendengarannya. Aku salah satu dari beberapa orang itu. Nada yang sangat indah, benarkah ini diciptakan oleh seorang remaja yang 3 tahun lalu memutuskan untuk meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang pianis? Ah, aku masih takjub. Ia sama sekali berbeda dari waktu itu. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menemukannya lagi di sini. Di konser tunggalnya.

***
  Saat itu aku masih kelas 3 SMP. Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengan seorang remaja yang mencintai piano lebih dari apapun di gedung pertunjukan tua ini. Ia tersenyum kepadaku dan bertanya apakah aku mau bermain piano bersamanya di gedung pertunjukan tua yang hanya ada piano ini. Konon kabarnya gedung ini dulu dipakai sebagai tempat orchestra para musisi profesional. 
  Ia bercerita banyak mengenai piano... dan mimpinya. Ia bertanya mengapa aku bisa ada di gedung ini. Jujur sebenarnya aku tak ingin menjawab pertanyaannya, tapi mau tak mau aku menjawab kalau aku suka tempat-tempat sepi yang jarang didatangi orang. Ia tertawa kecil, aku tak tau ia menertawai apa, tapi kuharap itu bukan penghinaan untukku. Sejak itu, setiap sepulang sekolah, setiap harinya, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke gedung ini. Mendengarkan permainan pianonya yang indah selalu menjadi hal yang kunanti-nantikan. Aku hanya duduk di bangku penonton dan memperhatikannya yang sedang bermain piano sambil menikmati dentingan piano itu. Ia selalu memainkan musik yang sama, bernada ceria namun juga memberikan kesan suram. Aku pernah bertanya mengapa ia begitu menyukai musik ini, dia menatapku dan memberikan jawaban menggantung. Karena ini musikku. Setelahnya aku tak pernah bertanya lagi, karena setiap kali ia membuka mulut, hanya hal-hal yang mempunyai artian sulit untuk kucerna yang ia katakan.
  Dan hal itu terjadi, hal yang sama sekali tak kukira. Dengan ekspresi dingin dan tangan terkepal ia berkata bahwa ia tak akan bermain piano lagi, selamanya. Aku memaksanya untuk memberitahukan alasannya, tapi itu malah membuatnya marah dan pergi meninggalkan aku begitu saja. Sejak hari itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Ia menghilang, tanpa kabar, tanpa ucapan selamat tinggal. Gedung itu menjadi hening, menjadi sama seperti saat aku belum menemukannya disini.
  3 tahun kemudian, aku menemukan poster pertunjukannya di cafe langgananku. Aku jelas kaget. Apa maksudnya saat itu yang bilang bahwa selamanya ia tak akan pernah lagi bermain piano tetapi sekarang malah menggelar konser tunggal? Dan kabar-kabarnya ia telah menjadi seorang pianis terkenal di negeri seberang. Apakah anak ini bercanda?

***
   Ia membungkuk memberi hormat kepada penonton dan juga sebagai penanda bahwa konser tunggal ini sebentar lagi akan berakhir. Ekspresi kecewa tergambar di wajahku. Aku tak ingin ini segera berakhir, aku tak ingin dentingan piano yang sangat kurindukan ini hanya bisa ku dengar sampai sekarang dan akhirnya menghilang lagi seperti waktu itu. Pembawa acara masuk dan memberikan mic kepadanya, sebelum sang pembawa acara angkat suara, remaja itu langsung berbicara. " Aku menyukai piano lebih dari apapun. Seharusnya aku sadar dari dulu. 3 tahun yang lalu aku berusaha lari dari mimpiku, aku takut untuk melihat ke depan. Saat itu, tepat pada hari ulang tahunku yang ke-15, piano mengambil ayah dariku. Padahal ayah telah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-15 bersamaku di gedung pertunjukan tua tempat ia mulai tertarik dengan musik. Tapi ia tak pernah kembali. Ia kecelakaan di perjalanan pulangnya kesini, saat ia pulang dari pertunjukan pianonya. Aku yang saat itu jadi benci piano dan menganggap piano sebagai penyebab kepergian ayah, ' coba saja ayah saat itu tidak lebih mementingkan piano, ia pasti masih ada disini ' itu yang ku pikir dulu. "
   Ia menghela nafas, " Maka aku memutuskan untuk bermain piano untuk terakhir kalinya di sebuah gedung pertunjukan tua yang pernah dijanjikan ayah dulu. Tak kusangka, aku menemukan seorang anak yang lebih muda dariku di gedung itu. Ia bilang ia sangat menyukai permainan pianoku. Aku tersanjung dan memutuskan  membatalkan niatku untuk meninggalkan piano. Ia yang mengingatkanku kembali betapa berartinya piano bagiku. Tapi, pada akhirnya mau tak mau, aku harus meninggalkan piano. Ibu marah saat mendengar aku masih bermain piano, aku tak tau mengapa ia begitu marah. Aku ketakutan, tanpa kusadari ketakutan itu memunculkan kembali kebencianku pada piano dan memutuskan untuk benar-benar meninggalkan piano. Setahun kemudian aku menemukan surat yang ditinggalkan ayah. Mungkin ini terdengar klasik, tapi ternyata isi surat itu adalah not balok lagu ciptaan ayah. Di amplopnya tertulis, ' Hadiah ulang tahun ke-15 untuk anakku. Note : Jangan pernah berhenti bermain piano walaupun suatu saat nanti ayah tak ada lagi ' . "
  Matanya mulai berair, " Mengapa aku begitu bodoh? Bukan piano yang membunuh ayah, tapi itu sudah takdir. Ayah sangat mencintai piano, sangat sangat mencintai piano. Saat itu Ibu marah bukan karena ia benci piano, ia hanya takut akan kehilangan aku seperti ia kehilangan ayah karena kecintaan ayah pada piano. "
   Suasana mulai terasa menyedihkan saat tangisannya pecah. Beberapa penonton menangis, tetapi ada pula yang memasang ekspresi campur aduk. Aku tak pernah menyangka bahwa itu alasan dia meninggalkan piano, mengapa ia tak pernah bilang padaku. Dan apa maksudnya seorang anak? Apa dia lupa namaku?
   " Ah ya, untuk yang terakhir. Aku tak tau dimana anak itu berada sekarang. Mungkin dia sudah berbeda dari yang dulu atau mungkin dia sudah melupakanku. Tapi ku harap aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, walau itu akan menjadi kali terakhir aku bertemu dengannya, di Gedung Pertunjukan Tua tempat kami pertama kali bertemu "
   Tiba-tiba terdengar musik mengalun memenuhi gedung pertunjukan. Dentingan piano yang masih berbekas diingatanku mengalun lembut. Musik bernada ceria namun memberikan kesan suram. 
   Aku menangis. 
   Musik ini adalah musik yang membawaku bertemu dengannya pertama kali di gedung pertunjukan tua itu. Musik yang membawaku kepada orang yang mengenalkanku betapa indahnya permainan piano itu. Kepada seorang remaja yang mencintai piano lebih dari apapun.
Hello! Welcome to Deyeo'si's Kingdom | Trifena | Thanks