Selasa, 04 Juni 2013

Gedung Pertunjukan Tua

  Suara denting piano memecah keheningan gedung pertunjukan ini. Seorang remaja duduk tegap dengan tangan yang seakan menari diatas tuts piano. Senyum tersungging di wajahnya yang manis. Ratusan pasang mata menatapnya takjub, beberapa orang memejamkan mata dan menikmati nada-nada indah dengan pendengarannya. Aku salah satu dari beberapa orang itu. Nada yang sangat indah, benarkah ini diciptakan oleh seorang remaja yang 3 tahun lalu memutuskan untuk meninggalkan mimpinya untuk menjadi seorang pianis? Ah, aku masih takjub. Ia sama sekali berbeda dari waktu itu. Aku tak pernah menyangka bahwa aku akan menemukannya lagi di sini. Di konser tunggalnya.

***
  Saat itu aku masih kelas 3 SMP. Aku tak pernah menyangka akan bertemu dengan seorang remaja yang mencintai piano lebih dari apapun di gedung pertunjukan tua ini. Ia tersenyum kepadaku dan bertanya apakah aku mau bermain piano bersamanya di gedung pertunjukan tua yang hanya ada piano ini. Konon kabarnya gedung ini dulu dipakai sebagai tempat orchestra para musisi profesional. 
  Ia bercerita banyak mengenai piano... dan mimpinya. Ia bertanya mengapa aku bisa ada di gedung ini. Jujur sebenarnya aku tak ingin menjawab pertanyaannya, tapi mau tak mau aku menjawab kalau aku suka tempat-tempat sepi yang jarang didatangi orang. Ia tertawa kecil, aku tak tau ia menertawai apa, tapi kuharap itu bukan penghinaan untukku. Sejak itu, setiap sepulang sekolah, setiap harinya, aku selalu menyempatkan diri untuk mampir ke gedung ini. Mendengarkan permainan pianonya yang indah selalu menjadi hal yang kunanti-nantikan. Aku hanya duduk di bangku penonton dan memperhatikannya yang sedang bermain piano sambil menikmati dentingan piano itu. Ia selalu memainkan musik yang sama, bernada ceria namun juga memberikan kesan suram. Aku pernah bertanya mengapa ia begitu menyukai musik ini, dia menatapku dan memberikan jawaban menggantung. Karena ini musikku. Setelahnya aku tak pernah bertanya lagi, karena setiap kali ia membuka mulut, hanya hal-hal yang mempunyai artian sulit untuk kucerna yang ia katakan.
  Dan hal itu terjadi, hal yang sama sekali tak kukira. Dengan ekspresi dingin dan tangan terkepal ia berkata bahwa ia tak akan bermain piano lagi, selamanya. Aku memaksanya untuk memberitahukan alasannya, tapi itu malah membuatnya marah dan pergi meninggalkan aku begitu saja. Sejak hari itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Ia menghilang, tanpa kabar, tanpa ucapan selamat tinggal. Gedung itu menjadi hening, menjadi sama seperti saat aku belum menemukannya disini.
  3 tahun kemudian, aku menemukan poster pertunjukannya di cafe langgananku. Aku jelas kaget. Apa maksudnya saat itu yang bilang bahwa selamanya ia tak akan pernah lagi bermain piano tetapi sekarang malah menggelar konser tunggal? Dan kabar-kabarnya ia telah menjadi seorang pianis terkenal di negeri seberang. Apakah anak ini bercanda?

***
   Ia membungkuk memberi hormat kepada penonton dan juga sebagai penanda bahwa konser tunggal ini sebentar lagi akan berakhir. Ekspresi kecewa tergambar di wajahku. Aku tak ingin ini segera berakhir, aku tak ingin dentingan piano yang sangat kurindukan ini hanya bisa ku dengar sampai sekarang dan akhirnya menghilang lagi seperti waktu itu. Pembawa acara masuk dan memberikan mic kepadanya, sebelum sang pembawa acara angkat suara, remaja itu langsung berbicara. " Aku menyukai piano lebih dari apapun. Seharusnya aku sadar dari dulu. 3 tahun yang lalu aku berusaha lari dari mimpiku, aku takut untuk melihat ke depan. Saat itu, tepat pada hari ulang tahunku yang ke-15, piano mengambil ayah dariku. Padahal ayah telah berjanji akan merayakan ulang tahunku yang ke-15 bersamaku di gedung pertunjukan tua tempat ia mulai tertarik dengan musik. Tapi ia tak pernah kembali. Ia kecelakaan di perjalanan pulangnya kesini, saat ia pulang dari pertunjukan pianonya. Aku yang saat itu jadi benci piano dan menganggap piano sebagai penyebab kepergian ayah, ' coba saja ayah saat itu tidak lebih mementingkan piano, ia pasti masih ada disini ' itu yang ku pikir dulu. "
   Ia menghela nafas, " Maka aku memutuskan untuk bermain piano untuk terakhir kalinya di sebuah gedung pertunjukan tua yang pernah dijanjikan ayah dulu. Tak kusangka, aku menemukan seorang anak yang lebih muda dariku di gedung itu. Ia bilang ia sangat menyukai permainan pianoku. Aku tersanjung dan memutuskan  membatalkan niatku untuk meninggalkan piano. Ia yang mengingatkanku kembali betapa berartinya piano bagiku. Tapi, pada akhirnya mau tak mau, aku harus meninggalkan piano. Ibu marah saat mendengar aku masih bermain piano, aku tak tau mengapa ia begitu marah. Aku ketakutan, tanpa kusadari ketakutan itu memunculkan kembali kebencianku pada piano dan memutuskan untuk benar-benar meninggalkan piano. Setahun kemudian aku menemukan surat yang ditinggalkan ayah. Mungkin ini terdengar klasik, tapi ternyata isi surat itu adalah not balok lagu ciptaan ayah. Di amplopnya tertulis, ' Hadiah ulang tahun ke-15 untuk anakku. Note : Jangan pernah berhenti bermain piano walaupun suatu saat nanti ayah tak ada lagi ' . "
  Matanya mulai berair, " Mengapa aku begitu bodoh? Bukan piano yang membunuh ayah, tapi itu sudah takdir. Ayah sangat mencintai piano, sangat sangat mencintai piano. Saat itu Ibu marah bukan karena ia benci piano, ia hanya takut akan kehilangan aku seperti ia kehilangan ayah karena kecintaan ayah pada piano. "
   Suasana mulai terasa menyedihkan saat tangisannya pecah. Beberapa penonton menangis, tetapi ada pula yang memasang ekspresi campur aduk. Aku tak pernah menyangka bahwa itu alasan dia meninggalkan piano, mengapa ia tak pernah bilang padaku. Dan apa maksudnya seorang anak? Apa dia lupa namaku?
   " Ah ya, untuk yang terakhir. Aku tak tau dimana anak itu berada sekarang. Mungkin dia sudah berbeda dari yang dulu atau mungkin dia sudah melupakanku. Tapi ku harap aku bisa bertemu dengannya sekali lagi, walau itu akan menjadi kali terakhir aku bertemu dengannya, di Gedung Pertunjukan Tua tempat kami pertama kali bertemu "
   Tiba-tiba terdengar musik mengalun memenuhi gedung pertunjukan. Dentingan piano yang masih berbekas diingatanku mengalun lembut. Musik bernada ceria namun memberikan kesan suram. 
   Aku menangis. 
   Musik ini adalah musik yang membawaku bertemu dengannya pertama kali di gedung pertunjukan tua itu. Musik yang membawaku kepada orang yang mengenalkanku betapa indahnya permainan piano itu. Kepada seorang remaja yang mencintai piano lebih dari apapun.

6 komentar:

  1. Balasan
    1. Hahaha iya :D baru dapat ide. kamu juga ga update lagi blognya

      Hapus
  2. Bagus loh Fena.. Bahasa Indonesia mu brapa sih? '-' Eem, ak uda agak rada malas.. Mau fokus nge-game. #eeh

    BalasHapus
    Balasan
    1. B. Indonesiaku begitu '-'
      udah mutusin buat pilih yang mana?

      Hapus
    2. Ooh, B. Indo nya bagus, hhe. :) Hheh, sudah kok Fena. Mkasih uda mnanyakannya.. '-' #eeh

      Hapus

Hello! Welcome to Deyeo'si's Kingdom | Trifena | Thanks